Powered By Blogger

Sabtu, 08 Januari 2011

Bukan Hanya Nasionalisme Musiman

Bukan Hanya Nasionalisme Musiman

Rabu, 5 Januari 2011 - 15:29 wib

Ilustrasi: ist.
KEJUARAAN Sepakbola Piala AFF memang telah berakhir. Tim Nasional Indonesia pun telah menunaikan tugasnya dengan nyaris sempurna dalam kejuaraan ini. Walaupun lagi-lagi bukan piala kemenangan yang kita dapatkan. Namun, ada suatu fenomena langka yang timbul dari ajang dua tahunan ini, bahkan lebih berharga dari sebuah piala yang diperebutkan dari kejuaraan tersebut. Fenomena yang dimaksud ialah “terlahir kembalinya” rasa nasionalisme seluruh bangsa ini.

Bukan bermaksud untuk memprovokasi seluruh penduduk Indonesia, namun harus diakui bahwa nasionalisme penduduk di negeri ini bisa dikatakan nasionalisme “musiman”. Nasionalisme ini baru terlihat secara massif ketika kalender masehi yang baru saja berganti menginjak pada bulan ke delapan dari dua belas bulan yang tersedia tahun lalu. Namun, Kejuaraan Sepakbola Piala AFF ini menciptakan anomali dalam jadwal nasionalisme musiman bangsa Indonesia.

Bangkitnya nasionalisme rakyat Indonesia tidak terlepas dari kiprah punggawa Tim Nasional Indonesia dalam kejuaraan tersebut. Dukungan masyarakat yang semakin besar seiring dengan prestasi yang dicapai Tim Garuda. Mulai dari tukang sampah sampai pemimpin negara ini, tidak hanti-hentinya untuk memberikan dukungan untuk perjuangan Tim Merah Putih. Dukungan tersebut makin nyata ketika Indonesia mampu melenggang ke partai puncak. Dari dukungan  semua pihak inilah timbul atmosfer nasionalisme yang luar biasa di dalam masyarakat Indonesia.

Sungguh suatu fenomena yang jarang terjadi di negeri ini. Sebuah fenomena di mana semua penduduk di negeri ini meneriakkan hal yang sama, mempunyai tujuan yang sama, dan mempunyai mimpi yang sama. Hal ini benar-benar fenomena yang langka. Jangankan untuk mempunyai satu mimpi, bangsa ini lebih sering berkutat dengan kepentingannya masing-masing. Bangsa ini sering meneriakan segala sesuatu yang dilakukan ialah untuk kepentingan bersama, namun yang terjadi bukannya kebersamaan melainkan sikap saling menjatuhkan.

Apakah sikap yang demikian yang akan terus bangsa ini pertahankan, ketika keikhlasan dan kebusukan menjadi “komoditi” yang sukar dibedakan? Apakah kita akan terus membiarkan perbuatan yang mengagungkan kepentingan golongan daripada kepentingan umum? Tentu saja bangsa ini lelah dengan kehidupan yang demikian, bukan hanya rakyat yang tidak mengerti apa-apa, tetapi juga orang-orang yang selalu mementingkan golongannya dengan dalih untuk kepentingan bersama.

Tidakkah bangsa ini bisa meniru apa yang dilakukan oleh pemain-pemain Tim Nasional Indonesia? Pemain-pemain ini memiliki latar belakang yang berbeda-beda, beda klub dan beda daerah atau bahkan ada pula tidak memiliki darah bangsa Indonesia (pemain naturalisasi). Akan tetapi mereka bisa bersatu untuk saling bahu membahu demi satu tujuan, yaitu mengharumkan nama Indonesia di mata dunia.

Sudah bukan saatnya lagi negara ini terus berkutat dengan berbagai macam permasalahan yang tidak tahu kapan akan berakhirnya. Bangsa ini sudah terlalu tua untuk dikatakan bangsa yang masih belajar. Butuh kedewasaan untuk membuat negara ini semakin maju, bukan hanya oleh pemimpin-pemimpinnya, tapi oleh segenap rakyatnya. Rakyat yang mempunyai nasionalisme dan rasa cinta tanah air yang mendalam kepada negaranya.

Alangkah indahnya jika nasionalisme yang akhir-akhir ini tercipta bisa terus dipertahankan dan dilestarikan. Bukan hanya ketika bulan Agustus, bukan juga ketika kejuaraan ini dihelat kembali. Bangsa ini tentu berharap rasa nasionalisme ini akan terus terjaga, rasa cinta tanah air yang mendalam. Sebuah rasa kebersamaan yang nyata, bukan sebuah wacana, dan juga bukan rasa kepemilikan semu sebuah negara oleh golongan tertentu saja. Sebuah naionalisme yang nyata, untuk terciptanya satu kata, satu rasa, satu mimpi, dan satu Indonesia.

Adiluhung Angganar PMahasiswa Jurusan Manajemen
Universitas Gadjah Mada

Tidak ada komentar:

Posting Komentar