Powered By Blogger

Sabtu, 08 Januari 2011

Universitas Ciputra Entrepreneurship Center (UCEC)

Kampus Pilihan

Universitas Ciputra Entrepreneurship Center (UCEC)


PADA 4 Juli 2010 lalu Universitas Ciputra Entrepreneurship Center (UCEC) bekerja sama dengan Kementerian Tenaga Kerja dan Transmigrasi (Kemenakertrans) mengadakan seminar dan pelatihan entrepreneurship untuk tenaga kerja Indonesia (TKI) di Kantor Konjen RI di Hong Kong.
Informasi acara tersebut disebarluaskan melalui ragam komunitas TKI di Hong Kong yang dapat dikatakan semua adalah perempuan dan bekerja sebagai pembantu rumah tangga (domestic helper). Semula, diperkirakan hanya 120 orang yang akan hadir mengisi ruangan berkapasitas 180 orang. Namun, ternyata minat belajar entrepreneurship tenaga kerja wanita (TKW) begitu besar sehingga yang datang begitu banyak, hingga 230 orang.
Tak ada kursi, tikar pun dipakai untuk alas duduk peserta pelatihan. Sebelum pelatihan dilakukan, panitia memberikan kuesioner kepada seluruh peserta. Salah satu pertanyaan dalam kuesioner tersebut adalah apa rencana mereka sekembali ke Indonesia. Ternyata, sebanyak 219 TKW atau 95 persen dari peserta pelatihan ingin berwirausaha sekembali dari Hong Kong. Memang masuk akal bila mereka memiliki cita-cita berwirausaha atau menjadi entrepreneur.
Setidaknya ada tiga alasan, pertama, mereka memiliki sejumlah dana yang cukup besar dari hasil tabungan selama bekerja di Hong Kong. Kedua, mereka akan kesulitan masuk pasar tenaga kerja di Indonesia bagi para mantan TKW. Ini mengingat mereka telah mendapatkan gaji setara Rp4 juta selama di Hong Kong. Ketiga, mereka ingin berkumpul dengan keluarga.
Seorang TKW asal Indramayu yang kami temui di Victoria Park berkata, ”Saya akan kembali ke Indonesia, ingin buka kafe, untuk merebut kembali tahun-tahun saya yang hilang bersama anak-anak saya.” Itu alasannya, dan itu juga suara hati seorang ibu muda yang sudah sepuluh tahun bekerja di luar negeri. Apakah mereka siap untuk jadi entrepreneur? Inilah yang menjadi keprihatinan dan seharusnya juga menjadi kepedulian kita semua.
Banyak orang berpikir bahwa kunci utama menjadi seorang entrepreneur adalah modal. Sehingga, asal ada modalnya maka usaha bisnis akan tercipta. Ini keliru. Karena menciptakan dan mengelola sebuah usaha bisnis memerlukan pola pikir, perilaku, dan kecakapan tertentu. Pola pikir, perilaku, dan kecakapan tersebut timbul dan tumbuh melalui proses tiga L (lahir, lingkungan, dan latihan).
L yang pertama atau lahir adalah faktor di keluarga mana seseorang lahir. Dr. Ir. Ciputra pernah mengatakan, ”Saya lahir dari keluarga entrepreneur, begitu brojol sudah lihat barang dagangan, belajar merangkak di antara barang dagangan, belajar jalan sambil berpegang barang dagangan, percakapan dalam keluarga adalah percakapan tentang berdagang, sudah mulai besar membantu berdagang lalu bergaul di antara para pedagang, tidak heran bila jiwa seorang pedagang sudah terbentuk sejak dini.”
L kedua adalah lingkungan, seseorang yang bukan lahir dari keluarga entrepreneur namun berkawan, bersekolah, atau bekerja dalam lingkungan yang entrepreneurial dapat terinspirasi dan terasah pola pikir, perilaku, dan kecakapan entrepreneurship-nya, tidak heran bila kemudian bisa jadi entrepreneur. Sebagai contoh adalah para profesional yang bekerja di perusahaan-perusahaan bisnis kemudian pindah profesi dari pegawai entrepreneur menjadi entrepreneur karena telah mengalami proses pembentukan di tempat kerja.
L yang ketiga adalah latihan. Faktor latihan atau pendidikan entrepreneurship makin penting khususnya untuk mereka yang tidak memiliki dua L yang terdahulu (lahir dan lingkungan). Legitimasi bahwa entrepreneurship dapat diajarkan sudah bukan merupakan pertanyaan lagi. Peter Drucker (1985), seorang pakar bisnis dan manajemen kelas dunia, mengatakan dengan tegas, ”The entrepreneurial mystique? Its not magic, its not mysterious, and is has nothing to do with the genes. Its a discipline. And, like any discipline, it can be learned.
Demikian juga berbagai pendapat ahli dan hasil riset menunjukkan bahwa kewirausahaan dapat dipelajari. Ini adalah contoh-contohnya, 1) Most of the empirical studies surveyed indicated that entrepreneurship can be taught, or at least encouraged, by entrepreneurship education (Gorman, Hanlon,& King,1997,p.63). 2) The question of whether entrepreneurship can be taught is obsolete (Charney & Libecap, 2000).
Namun, bukan sembarang pelatihan. Karena, pelatihan entrepreneurship harus memiliki metode belajar yang tepat atau bukan sekadar mengajarkan pengetahuan entrepreneurship. Strategi pembelajaran yang dipakai harus dapat menginspirasi dan membangun pola pikir, perilaku, dan kecakapan entrepreneurship dan tentu saja untuk mencapai standar itu pelatihan satu hari pasti tidak cukup.
Kenyataan di atas menyisakan kepada kita semua sebuah pekerjaan rumah yang besar sekali. Jumlah total TKI di seluruh dunia diperkirakan sudah mencapai enam juta orang. Dari jumlah tersebut tentu banyak sekali yang sekembali ke Indonesia ingin jadi entrepreneur namun tanpa pola pikir, perilaku, dan kecakapan yang memadai. Jangan-jangan mereka hanya akan menghabiskan tabungan yang sudah dikumpulkan dengan susah payah dan dengan social cost yang sangat tinggi.
Ketika kami dalam perjalanan ke Bandara Hong Kong untuk kembali ke Jakarta, sopir kendaraan yang kami tumpangi mengatakan ada seorang TKW yang pulang kampung lalu membuka minimarket dan gagal sehingga akhirnya kembali ke Hong Kong lagi jadi TKW. Kalau yang seperti ini terjadi terhadap banyak TKW kita, maka akan sangat ironis bukan? Oleh karena itu, semoga pelatihan entrepreneurship untuk TKI sebelum berangkat ke negara tujuan, selama mereka bekerja, dan sesudah mereka kembali dari negara tempat bekerja mendapatkan prioritas dari pemerintah kita.(*)

Antonius Tanan
Presiden Universitas Ciputra Entrepreneurship Center (UCEC)

Tidak ada komentar:

Posting Komentar