Powered By Blogger

Kamis, 30 Desember 2010

Bobot UN Tetap Lebih Besar

Bobot UN Tetap Lebih Besar

Kamis, 30 Desember 2010 - 10:42 wib

Ilustrasi: ist.
JAKARTA– Kementerian Pendidikan Nasional (Kemendiknas) menetapkan Ujian Nasional (UN) tetap mendapatkan persentase bobot lebih besar daripada nilai akhir ujian sekolah.

Menteri Pendidikan Nasional (Mendiknas) Mohammad Nuh mengatakan, UN harus lebih besar nilainya daripada ujian sekolah karena kebanyakan sekolah entah itu sekolah dengan akreditasi A, B, dan C cenderung memberikan nilai yang sama kepada setiap muridnya yakni antara 7 dan 8.

Kemendiknas tidak mau memberikan porsi besar kepada ujian sekolah, lanjutnya, karena tidak mungkin UN dijadikan pemetaan pendidikan.

“Karena faktanya seperti ini. Jika ujian sekolah kami utamakan sebagai syarat penentu kelulusan, maka tidak akan ada pembeda antarsekolah. Sehingga kami putuskan bobot yang lebih besar ke UN yakni 60 persen UN dan 40 persen ujian sekolah,” jelasnya di gedung Kemendiknas.

Mendiknas menyebut formula UN yang baru ini sudah komprehensif. Pasalnya, UN tidak berdiri sendiri sebagai penentu kelulusan melainkan diintegrasikan dengan prestasi siswa selama sekolah yang ditandai dengan nilai raport serta ujian sekolah yang penilaiannya diserahkan penuh kepada guru dan kepala sekolah. “Kami evaluasi secara komprehensif mulai dari aspek psikomotorik, afektif, dan kognitif,” jelasnya.

Mantan menteri komunikasi dan informatika ini menyebut, pemerintah telah mengubah formulasi UN demi kepentingan semua pihak dan ini disambut baik oleh Komisi X DPR. Katanya, DPR yang sebelumnya selalu menentang keberadaan UN sudah mulai mendukung UN karena evaluasi yang dilakukan Kemendiknas sudah komprehensif. Selain itu, tambahnya, UN akan mulai diintegarasikan dengan penerimaan calon mahasiswa di perguruan tinggi negeri.

Kepala Badan Penelitian dan Pengembangan (Balitbang) Kemendiknas Mansyur Ramli juga menyatakan pembobotan nilai UN dan ujian akhir sekolah akhirnya disepakati Balitbang dan Badan Standar Nasional Pendidikan (BSNP). Kedua pihak sepakat bobot UN sebesar 60 persen sedangkan ujian sekolah hanya 40 persen. “Bobot sudah final. Kami sudah membuat draf dalam bentuk permendiknas dan akan segera ditandatangani oleh Mendiknas,” lugasnya.

Menurut Mansyur, ada beberapa alasan Kemendiknas dan BSNP menetapkan pembobotan 60:40 tersebut. Pertama, pemerintah menyadari UN lebih mempunyai standar yang diakui oleh seluruh sekolah di pelosok Indonesia. Sementara ujian sekolah lebih beragam dan penilaiannya dilakukan internal dan bersifat independen oleh sekolah. Apalagi survei yang dilakukan Balitbang menunjukkan, sekolah berakreditasi C mayoritas mendongkrak nilai siswanya hingga menyamai sekolah berakreditasi bagus.

Dipilihnya UN sebagai penentu tertinggi kelulusan, ungkapnya, karena dikhawatirkan adanya manipulasi dalam penggabungan nilai rapor dengan ujian sekolah. Mansyur menjelaskan, nilai rapor kebanyakan sudah di atas Ketuntasan Kompetensi Minimal. “Sekolah cenderung memberikan nilai rapor yang tinggi sehingga kami netralkan dengan bobot yang tinggi di UN,” imbuhnya.

Mengenai kecurangan, ucap Mansyur, akan dilakukan pembinaan kepada sekolah yang bersngkutan. “Sekolah kami harap berlaku jujur karena kami juga berikan bobot kepada nilai rapor,” urainya. Mansyur berharap, dengan penggabungan nilai ini maka kelulusan minimal sama seperti 2010. Bahkan, kemungkinan akan meningkat namun dengan kualitas UN yang tetap sama.

Anggota Komisi X DPR Zulfadhli berkomentar, pemerintah tetap harus merevisi PP No 19 tahun 2005 tentang Standar Nasional Pendidikan. “Kalau mengacu pada PP itu, maka formula ini tidak sesuai karena menggabungkan nilai sekolah,” ujarnya. Dirinya juga mempertanyakan masih banyaknya pungutan walaupun UN dinyatakan gratis oleh Kemendiknas.

Politikus dari Partai Golongan Karya (Golkar) ini menambahkan, saat ia berkunjung ke sejumlah daerah di perbatasan, dirinya menemukan fakta sekolah mewajibkan pelajaran tambahan yang membebankan orang tua murid untuk membayarnya. “Persiapan UN jangan dibebankan ke siswa. Lalu pemerintah harus menyiapkan sistem agar ada pengawasan yang ketat di daerah,” imbuhnya.

Sementara Anggota Komisi X DPR Hermanto lebih mengomentari distribusi guru yang belum merata. Katanya, diadakannya UN adalah untuk melihat proses dan evaluasi siswa selama belajar di sekolah. Akan tetapi, bebernya, di beberapa daerah ada satu guru yang mengajar beberapa mata pelajaran. Di beberapa tempat juga ada guru yang kompetensinya masih kurang.

Kondisi ini, kata Politikus yang bernaung di Partai Keadilan Sejahtera(PKS) tersebut sangat berdampak pada kualitas intelektualitas murid. Oleh karena itu, tandasnya, Kemendiknas harus melakukan distribusi guru yang merata pada mata pelajaran yang masuk dalam UN agar penilaian akhir yang didapat berlangsung dengan adil. (rfa)(Neneng Zubaidah/Koran SI/rhs)

Tidak ada komentar:

Posting Komentar