Powered By Blogger

Rabu, 05 Januari 2011

UN, Kebijakan Populer yang Tidak Solutif

UN, Kebijakan Populer yang Tidak Solutif

Selasa, 4 Januari 2011 - 15:49 wib

Ilustrasi: ist.
INDONESIA telah memulai babak baru dalam menetapkan kebijakan pendidikan nasional, khususnya dalam penentuan format kelulusan Ujian Nasional (UN) bagi siswa sekolah menengah pertama (SMP) dan sekolah menengah atas (SMA) atau sederajat. Format baru ini telah disampaikan oleh Menteri Pendidikan RI, Muhammad Nuh.

Tahun ini, format yang akan dipakai untuk menentukan kelulusan sesorang ialah menggunakan kalkulasi antara UN dan Ujian Sekolah (US). Rencananya format ini menggunakan proporsi 60 persen nilai UN dan 40 persen nilai US. Meski demikian, belum ada standar nilai yang jelas yang akan digunakan sebagai ambang dasar untuk menyatakan sesorang lulus atau tidak; bisa menggunakan standar tahun kemarin, atau membuat standar baru yang tidak kalah populernya.

Secara sederhana, memang terjadi perubahan format mekanisme penentuan kelulusan seorang siswa. Akan tetapi, jika dilihat dengan seksama, tidak ada perubahan mendasar pada sistem penentuan kelulusan dari tahun ke tahun. Terutama dengan masih dilibatkannya UN sebagai salah satu indikator untuk menentukan kelulusan seorang murid. Selain itu, masih ada penetapan ambang dasar secara kuantitatif yang harus dicapai seseorang untuk dinyatakan lulus. Inilah kebijakan popular yang kerap diambil negara ini, namun tidak pernah menjadi solusi perbaikan pendidikan nasional.

UN merupakan bentuk “pengekangan” dalam dunia pendidikan di Indonesia. Sejak diberlakukannya UN sebagai mekanisme penentuan kelulusan, sudah tidak terhitung beberapa kali negara ini menentukan format menentukan kelulusan berdasarkan UN. Salah satu indikator pengekangan ini ialah penggunaan empat atau enam mata pelajaran untuk “menghakimi” seseorang layak atau tidak mengantongi predikat lulus dari jenjang pendidikan yang ia tempuh sekarang. Hal ini jelas merupakan sebuah kebijakan yang mengada-ada.

Kebijakan ini mungkin dimaksudkan untuk memberikan standar resmi tentang level pendidikan yang telah dicapai oleh negara ini. Selain itu, standar tersebut juga digunakan untuk membandingkan hasil pendidikan di Indonesia, dengan hasil pendidikan negara lain. Namun, cobalah kita lihat lebih dekat, apakah pendidikan bisa dikatakan lebih maju seiring dengan standar kelulusan (beserta formatnya) yang terus meningkat? Jawabannya mungkin iya jika berlandaskan perhitungan kuantitatif. Namun, apakah pendidikan menjadi lebih maju secara kualitatif sejak diberlakukannya UN sebagai indikator untuk menentukan kelulusan? Jelas jawabannya ialah tidak. Hasil UN sama sekali tidak mencerminkan kualitas sebenarnya yang dimiliki oleh seorang murid.

Pada dasarnya, setiap manusia memiliki minat dan bakat berbeda-beda. Termasuk pula pada saat mereka menempuh jenjang pendidikan SMP dan SMA. Bahkan, bakat dan minat yang menjadi preferensi mereka tidak terkait dengan mata pelajaran yang menjadi acuan untuk menentukan lulus atau tidaknya mereka. Hal inilah yang sering tidak bisa ditangkap dengan baik oleh para pembuat kebijakan di negeri ini. Para pembuat keputusan atau kebijakan di dunia pendidikan terlalu mengeneralisasi bahwa kualitas dan minat setiap orang ialah sama. Inilah kesalahan fatal yang membuat negara ini salalu jalan di tempat dalam masalah pendidikan. Everything based on standard, standar yang dipaksakan standar.

Memutuskan kelulusan berdasarkan beberapa mata pelajaran yang bersifat suplemen ini jelas bukanlah hal yang bijaksana. Mata pelajaran tersebut dikatakan suplemen karena mata pelajaran ini penting, tapi hanya bersifat tambahan saja. Toh, nantinya ketika seseorang telah terjun pada dunia yang sebenarnya, yang menjadi senjata utama mereka dalam meraih sukses ialah bakat dan minat masing-masing. Jadi, jika kebijakan ini masih dipertahankan, hal ini bukannya akan menjadi solusi pendidikan nasional, akan tetapi nantinya justru akan menjadi kesalahan fatal.

Di masa depan, pemerintah diharapkan jauh lebih bijak dalam mengambil keputusan di dalam dunia pendidikan. Mempertahankan sistem UN dalam upaya mengetahui kualitas pendidikan nasional jelas tidak akan membawa solusi bagi dunia pendidikan di negeri ini. Setiap orang memiliki minat yang berbeda-beda, beda kepala beda juga isinya. Biarkanlah nasib bangsa ini ditentukan oleh minat dan bakat masing masing rakyatnya, bukan oleh standar yang tidak pernah pantas untuk dikatakan sebagai standar. Majulah pendidikan Indonesia, majulah negeriku.

Adiluhung Angganar PMahasiswa Jurusan Manajemen
Universitas Gadjah Mada

Tidak ada komentar:

Posting Komentar